Press "Enter" to skip to content

Reforma Agraria Sejati Tak Akan Pernah Mati

Reforma Agraria sejati, apa makna sesungguhnya? Bisa ditegaskan: janganlah mengkhianati rakyat. Terutama mereka yang hidup di lapangan pertanian dalam keadaan miskin, tanpa pemilikan tanah pertanian, kerja sebagai petani penggarap, atau buruh tani. Yang berpuluh-puluh tahun keluarganya hidup miskin dan nyaris tanpa jalan keluar. Reforma Agraria sejati haruslah berhubungan langsung dengan mereka, berupaya sungguh-sungguh untuk memajukan kualitas hidup, sejahtera, lepas dari kubangan politik agraria yang memiskinkan. 

Makna Reforma Agraria sejati itu nampaknya hanya punya arti bagi mereka yang memiliki komitmen dan empati pada kehidupan miskin petani. Mampu memahami dan bekerja dengan petani-petani miskin akan menguatkan upaya terwujudnya tujuan sejati Reforma Agraria. 

Jika ada Reforma Agraria sejati, berarti ada yang palsu? Tidaklah perlu dilawankan. Menantang ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, tetapi tidak mempersoalkan praktik kekuasaan agraria dan relasi kuasa agraria di lapangan pertanian, jelas saja ia jauh dari makna sejati itu. Tetapi ia tidak bisa disebut palsu. Peran Pemeritah diperlukan dalam Reforma Agraria. Mendukung Pemerintah menemukan model Reforma Agraria agar mampu menjawab ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, melibatkan birokrasi dalam pengetahuan atas fakta ketimpangan itu penting. Bekerja bersama menangani ketidakadilan, bukan berarti tunduk atau menjadi perpanjangan-tangan ketidakadilan. Bersikap kritis, dan di sinilah kemampuan aksi Reforma Agraria sejati itu diuji.  

Membaca potensi Reforma Agraria – Rahma YLBHI

“Apakah Reforma Agraria itu untuk kami?”, pertanyaan itu datang dari petani asal Kabupaten Semarang. ia datang bersama teman-teman petaninya, satu organisasi tani yang dikenal sebagai Ortaja, Organisasi Tani Jawa Tengah. Pada Konferensi Reforma Agraria, 12 – 14 September 2018 di Semarang, yang diselenggarakan LBH Semarang – Yayasan LBH Indonesia bekerja sama dengan jejaring organisasi masyarakat sipil lainnya, Ortaja hadir bersama organisasi-organisasi tani lainnya untuk merespon situasi Reforma Agraria. Ortaja menyampaikan, banyak lahan sudah dikuasai dan digarap petani, hampir 12 – 18 tahun tapi tak kunjung dikuatkan dengan sertifikat tanah. 

Organisasi tani lokal di Kendal, menyampaikan Perhutanan Sosial sebagai jalan keluar. Itu sifatnya sementara saja, bukan Reforma Agraria yang kami inginkan, tapi setidaknya sedikit memberi kehidupan pada petani penggarap. Sedangkan petani dari Blora justru tidak menginginkan Perhutanan Sosial. Mereka sudah kerjakan itu sebagai lahan, merawatnya bertahun-tahun. Mereka menginginkan hak milik sebagai tanah pertanian. 

Sedangkan organisasi tani dari Jawa Barat, menyatakan sertifikat jangalah sebagai tujuan. Hal ini ditegaskan ketika topik settifikat tanah dibahas dalam Konferensi Reforma Agraria tersebut. Penguasaan fisik yang penting, kerjakan dan buktikan kesungguhan petani dalam lapangan pertanian. Memang sudah ada di bagian kasus di Jawa Barat sudah peroleh sertifikat tanah, tapi itu bukan tujuan utama. 

Dari Jawa Timur tetaplah khas, konflik agraria menjadi urusan utama. Kisah-kisah betapa rumit dan kerasnya menghadapi konflik agraria tetap berlangsung hingga kini. Tetapi nampaknya siituasi konflik agraria tidak hanya terjadi di Pasuruan, Lumajang, Banyuwangi tetapi menyebar merata pada hampir seluruh tanah Jawa. 

Lalu, apakah program Reforma Agraria itu untuk kami? Keraguan muncul. lokasi Reforma Agraria, terutama terkait redistribusi tanah tidak jelas. Yang banyak diangkat ke permukaan adalah pembagian sertifikat tanah untuk pertama kali, yang tidak berhubungan dengan petani-petani penggarap yang sepanjang hidupnya menghadapi konflik agraria. 

Reforma Agraria sekarang bukan lagi anak kandung konflik agraria. Ia kini instrumen akumulasi modal. Sertifikasi tanah bukan ujung dari redistribusi tanah. Bahkan ia ditegaskan penting untuk mengakses modal, kredit bank.Tersamar, apakah skema pasar tanah itulah yang dibayangkan sebagai Reforma Agraria, penataan akses dalam praktik. 

Reforma Agraria sejati, cita bersama Petani miskin

Perdebatan, kata-kata, argumen atas nama Reforma Agraria bermunculan. Reforma Agraria bukan hanya soal redistribusi tanah. Reforma Agraria bukan melulu soal konflik agraria. Organisasi tani bukanlah hanya organisasi yang hadapi konflik agraria saja, ada organisasi produksi yang memanfaatkan akses lahan atau hutan. Dan banyak lagi. Tentu saja semua itu benar, itulah faktanya. Tetapi yang dimaksud Reforma Agraria bukanlah bagian-bagian kecil yang dipisahkan itu.

Reforma Agraria adalah memastikan tanah pertanian dikerjakan oleh petani itu sendiri. Penghisapan atau eksploitasi manusia atas manusia yang lain di lapangan pertanian haruslah dihilangkan. Dan petani hendaknya memiliki tanah pertanian untuk kehidupannya. Begitu pesan-pesan penting yang secara utuh termuat dalam UU Pokok Agraria / No. 5 tahun 1960. Negara tidaklah boleh sekali-kali berbagai tanah (beralas) hak milik dengan petani. Hak menguasai dari Negara itu kewenangan mengatur yang amat jelas ditegaskan dalam UUPA untuk mewujudkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kalau Reforma Agraria keluar dari kerangka kerja itu, lalu ia didasarkan pada norma apa? Dan keadilan untuk siapa yang hendak diwujudkan.

Baca juga:

Reforma Agraria: Idealisasi Konsep Hak Menguasai dari Negara

Reforma Agraria yang saat ini dilaksanakan Pemerintah didukung dengan hutang ke group Bank Dunia. Dokumen proyek hutang itu bisa diakses di web Bank Dunia. Dengan posisi, tidak boleh ada kegiatan / proyek yang lepas dari dokumen perencanaan pembangunan nasional, maka tidaklah perlu debat, bahwa model Reforma Agraria yang dijalankan adalah model RA yang didukung hutang multilateral tersebut. Meski banyak yang menyesalkan, tapi tidak ada perlawanan yang sungguh-sungguh terhadap model RA itu. Hanya sebatas siaran pers atau artikel opini di koran atau di media sosial. 

Baca juga: 

Reforma Agraria: Sudahkah Lepas Landas?

Seluruh peserta Konferensi Reforma Agraria menyadari konsolidasi gerakan organisasi tani melemah dan terus dilemahkan. Hanya komitmen dan keberadaan organisasi tani yang kuat, mampu menghadapi konflik, mampu bersiasat dalam kerangka hak-hak asasi petani yang bisa memastikan Reforma Agraria sejati. Selama kita mampu memahami dan menganalisis situasi penindasan agaria, maka Reforma Agraria sejati tak akan pernah mati. (*)

Foto Unggulan Atas diambil dari www.elsam.or.id

Penulis: Andik Hardiyanto

Be First to Comment

Silahkan berkomentar ..

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d