Press "Enter" to skip to content

Reforma Agraria

Reforma Agraria adalah kebahagiaan petani. Ia adalah semangat yang menghidupkan kerja pertaniannya. Ia memberi darah pada pekerjaannya, yakni martabat sebagai manusia. 

merDesa Kata

Petani miskin tak pernah lelah memikirkan tanah pertanian. Tempat ia menjatuhkan butir-butir keringat. Jika ada masalah atas tanah pertanian itu, ia dan keluarganya akan hadapi masalah tersebut, meski sepanjang hidupnya. 

Petani miskin senang pada orang atau kelompok orang yang datang padanya, sekedar berkunjung atau membantunya. Terlebih ‘orang luar’ tersebut jelas dan tegas menyatakan empatinya. Tidak memanipulasi, atau dalam bahasa kekinian, datang dengan penuh drama. Petani miskin sikapnya terbuka. 

Petani Bandungan dalam Acara Penyerahan Sertifikat Hak Atas Tanah, 22 September 2021 di Semarang. Foto: LBH Semarang

Itulah sebabnya, petani miskin sukacita atas peringatan perayaan tentangnya, apalagi ditambah agenda reforma agraria. Segenap perasaan seperti di atas tetap menjadi pengalaman batin saya dalam kasus tanah Jenggawa. Perjuangan petani kebun yang luar biasa sampai ke ujung kemenangan. 

Jejak Reforma Agraria

Reforma Agraria adalah agenda yang menyejarah. Tonggak tahun UU Pokok Agraria (UUPA), Tahun 1998 dan 2020 adalah momentum politiknya. Lahirnya UUPA menunjuk kemampuan masyarakat dan pemerintah saat itu merumuskan ‘problem agraria’ Indonesia. Dan itulah yang membedakan dengan situasi saat ini. UUPA menegaskan kolonialisasi dalam berbagai bentuk atas agraria harus diakhiri dan pembangunan nasional segera dimulai melalui landreform; bahwa tanah pertanian wajib dikerjakan oleh petani itu sendiri; HGU harus diikuti kemampuan teknis dan modal, menghindari sub-kontrak atas pengerjaannya, dan batas waktu konsensi yang pendek (1/3 dari masa penguasaan hak erfpacht),; dan akuntabilitas pemerintah dijalankan melalui pengawasan dan evaluasi ijin konsesi; prinsip pengaturan agraria didasarkan pada hukum adat. Amat tegas dan jelas. 

Dalam perjalanan tahun, penguasa memiliki pandangan lain. Transformasi agraria tidak dijalankan sesuai skema pengaturan UUPA. UUPA dibuat sesak nafasnya, nyaris mati. Tanah dibelah pengaturannya untuk kawasan hutan dan sektor lainnya. UUPA dipaksa berhenti di depan batas kawasan hutan. Di sisi lain, bidang-bidang tanah terus diambil madunya, pertanian padat modal (revolusi hijau), memperluas tanaman komoditi (perkebunan), tambang dll, serta infrastruktur untuk mendukungnya. Ruang kerja petani miskin semakin sempit. Petani miskin semakin tersingkir. Jumlah petani tak bertanah terus bertambah. Kemiskinan dan kelaparan adalah biaya yang dipertaruhkan atas kemajuan pembangunan. 

Tahun 1998, koreksi kolektif rakyat menghentikan semua hal di atas. Politik pembangunan alami jeda, dan petani miskin merebut kembali tanah-tanah pertaniannya. Tapi jangan salah paham, mereka tidak merampok. Petani miskin itu merebut kembali hak-hak atas tanah yang jelas secara historis atas penguasaan tanahnya. LBH menyebut proses ini sebagai reclaiming. Organisasi tani dan nelayan tumbuh subur, kuat dan berjejaring diantara mereka.

Tutupnya Orde Baru membuka harapan dan era baru, keterbukaan politik. Memasuki pertengahan dasawarsa Tahun 2000an, tanda-tanda buruk dinamika hukum dan politik nyata terlihat. Kasus-kasus penculikan pejuang Demokrasi jadi misteri dan keadilan tak kunjung ada. Organisasi non-pemerintah garis depan tiba-tiba lumpuh. Munir mati dibunuh. 

Peringatan Hari Tani 2020, foto: detiknews

Bersama lekat dalam situasi tersebut di atas, urusan agraria seperti dalam kutukan. Transformasi agraria sesuai skema UUPA tetap tidak bergerak maju, meski koreksi terhadap situasi ketidakadilan agraria mencapai puncaknya melalui TAP MPR (IX/2001) maupun Putusan Mahkamah Konstitusi (MK 35).

Tahun 2020, banyak orang masih bertanya, mana Reforma Agraria? Perayaan hari tani, pesan poster-poster terbaca jelas: tinjau semua peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan UUPA. Sementara itu, Pemerintah menegaskan Reforna Agraria adalah prioritas nasional, termuat dalam Nawacita. Jadi ini artinya apa? Reforna Agraria dijalankan berdasar sumberdaya peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ada saat ini: suatu kerangka kerja hukum dan kebijakan yang disebut rakyat tidak sesuai UUPA. Nama programnya TORA.

Hambatan Reforma Agraria

Periode Nawacita I memberi pelajaran soal Reforma Agraria. Karena program TORA tidak didahului dengan koreksi total peraturan perundang-undangan dan kebijakan atas kesesuaiannya dengan UUPA, atau bisa disebut Reforma Agraria dijalankan dalam carut marutnya situasi agraria, maka jelas banyak masalah dalam praktiknya di paska Nawacita I:

Pertama, tidak ada pilihan lain kecuali harus melewati penyelesaian konflik dan sengketa agraria. Ketidakstabilan cara-cara penyelesaian konflik jelas berakibat RA tidak optimal, jalannya lambat. Satu kasus bisa selesai, bersamaan dengan itu tiga kasus lain terangkat di tempat lain. Jadi ada masalah fokus. 

Kedua, ada masalah teknokrasi perencanaan dan penganggaran. Misalnya TORA yang disandarkan, salah satunya, dengan UU 41/1999 (Kehutanan) yang mengatur sektoral dan lepas dari prinsip dasar pengaturan UUPA: bagaimana mungkin bisa fasilitasi teknokrasi dan koordinasi secara optimal, pondasi pengaturannya saja saling berhadap-hadapan, dan di lapangan masih dipenuhi konflik. 

Yang terjadi, oleh karenanya, hanya pelaksanaan peningkatan akses, bukan penataan penguasaan dan pemilikan tanah. Siasat kebijakan juga ada: inti RA disebut penataan akses dan aset. Di sisi lain, masalah teknokrasi itu koordinasi anggaran. Karena sektor dan yurisdiksi kawasan, maka anggaran K/L lain, sesuai tupoksi, tidak bisa masuk ke wilayah itu berdasar akuntansi anggaran negara. Akibatkan pasukan legislasi akses akan muncul masalah pendampingan yang bersifat koordinasi dan sinergi program K/L.. Akhirnya sektor mengupayakan sumberdaya sendiri untuk hal itu, kalau perlu dengan bantuan donor bilateral ataupun multilateral. 

Ketiga, karena ada masalah pertama (penyelesaian konflik agraria) dan kedua (teknokrasi) maka pilihan efektifitas adalah membentuk taskforce, membangun koordinasi lapis 2 – 3 dari K/L (Wamen, Eselon 1 dan 2), dan bahkan KSP ikut mendukung secara teknis penyelesaian konflik agraria. Mereka akan habis waktu untuk ratusan ribu konflik agraria. Tantangan utama dari pilihan formasi kebijakan dan kerja kelembagaan seperti ini adalah komitmen untuk mengkoreksi kerangka kerja hukum dan kebijakan agraria, tapi mereka akan kehabisan waktu. Terlebih sekarang ada haluan baru, UU Cipta Kerja. 

Keempat, organisasi non-pemerintah memiliki kebenarannya sendiri. Mereka akan terus diuji independensi dan kepentingannya pada realisasi hak-hak petani miskin dan tak bertanah. Independensi itu setidaknya non-partisan. Apabila senjata utama mereka adalah upaya penyelesaian konflik agraria dan pengajian data konflik agraria, maka sebenarnya mereka secara sukarela mengikuti model RA seperti yang berjalan saat ini. 

Penutup: Ada Titik Kebenaran

Sekarang, perayaan sertifikasi tanah. Urusan yang seharusnya selesai 10 tahun yang lalu. Sertipikat itu hak rakyat sebagai warganegara yang menguasai bidang tanah. Tapi dalam konteks RA, sertipikat itu harus terhubung dengan jelas pada penataan penguasaan pemilikan dan penguasaan tanah, serta menegaskan aset bagi petani miskin dan tak bertanah (redistribusi tanah). Kalau itu yang dijalankan maka di situ ada titik dan jalan kebenaran RA. Di sini menjadi penting untuk mengkoreksi kebijakan tanah luas terkait identifikasi potensi obyek redistribusi tanah. HGU perkebunan misalnya, dengan kemajuan teknologi produksi pertanian, penguasaan tanah luas mereka bisa dikurangi untuk obyek redistribusi. Dari segi waktu penguasaan tanah HGU, kepentingan utama fungsi sosial tanah dan petani miskin disekitarnya harus diperhitungkan, maka jangka waktu penguasaan tanah HGU harus dikembalikan ke pengaturan asal. Jadi maksud saya, sertipikat tanah (hasil redistribusi tanah) akan memiliki jalan kebenaran RA jika diikuti koreksi total kerangka kerja hukum dan kebijakan agraria. Kalau hal itu tidak dilakukan, jelaslah program itu jauh dari jangkauan RA, apalagi Reforma Agraria sejati.

The Rights Balance, TORA di Tanah Papua menurut Wamen ATR BPN, Surya Tjandra. Foto: sinarpagibaru.id

Satu lagi, akhir, membawa RA ke Tanah Papua itu juga gagasan benar. Tapi ada satu pintu yang ia harus lewati, pengakuan keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Jika mampu memenangkan upaya itu maka akan ada satu model lagi RA, dan bahkan bisa masuk ke wilayah RA sejati. Selamat merayakan Hari Tani Nasional 2021. (Andik Hardiyanto)

Be First to Comment

Silahkan berkomentar ..

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d