Press "Enter" to skip to content

Perjalanan Almanak Desa: Kasepuhan Pasir Eurih

Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan di Banten Kidul, mungkin belum banyak yang mengetahui keadaan terbaru atas keberadaan mereka. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa MHA yang tersisa di Pulau Jawa adalah Masyarakat Hukum Adat Baduy. Padahal, daerah selatan Provinsi Banten merupakan wilayah bermukim masyarakat Kasepuhan sejak zaman dahulu kala. Hal ini pula yang membuat penasaranku untuk kembali menjelajahi salah satu adat tersisa yang terdapat di Tanah Jawa. 

Bentang alam Kasepuhan Pasir Eurih

Pada 15 Agustus 2018, tepat 2 hari sebelum peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-73. Saya bersama dengan Tim Rimbawan Muda Indonesia (RMI) Bogor melakukan perjalanan menuju Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Pasir Eurih yang terletak di Desa Sindanglaya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak yang kurang lebih berjarak 290 (dua ratus sembilan puluh) kilometer dari Jakarta. Kasepuhan Pasir Eurih sebagian besar wilayahnya terletak di dalam Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Hal ini merupakan curahan hati masyarakat Kasepuhan pada umumnya, karena mereka merasa tertekan dan tidak bisa secara leluasa menguasai dan mengelola wilayah mereka. Menilik pada sejarah panjang wilayah tersebut, sejatinya penduduk (MHA Kasepuhan) telah lama menduduki dan mendiami wilayah tersebut. Dan lebih tegas lagi bahwa mereka telah mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Lebak melalui Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA Kasepuhan di Banten Kidul.

Pukul 18.30. kami tiba di Kasepuhan Pasir Eurih, langsung ke rumah Abah Aden (Pimpinan Adat) tertinggi di MHA Kasepuhan Pasir Eurih. Saya cukup terkesima dengan struktur bangunan Omah Gede yang merupakan kediaman dari Abah sebagai pemimpin adat. Omah Gede tidak hanya digunakan sebagai kediaman, melainkan juga terkadang digunakan sebagai tempat berkumpulnya dan tempat berbagi cerita serta pengalaman pembelajaran dari Abah kepada seluruh masyarakat terutama generasi-generasi penerus dari MHA Kasepuhan Pasir Eurih. 

Yang bertahan

Kami langsung memutuskan untuk melakukan sowan dengan Abah Aden dan Perangkat Desa yaitu Jaro Andi Jaku (Kepala Desa Sindanglaya) dan setelah saya ketahui bahwa Jaro Andi adalah kakak kandung dari Ketua DPRD Kabupaten Lebak yang juga merupakan perumus dari Perda Pengakuan MHA Kasepuhan di Banten Kidul yaitu Bapak Jun Jarta. Pembicaraan kami berkaitan juga dengan rencana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan verifikasi lapangan sebagai bagian dari tindaklanjut pengajuan penetapan hutan adat Kasepuhan Pasir Eurih yang sudah dilakukan pada akhir tahun 2017.

Respon Jaro Andi sebetulnya cukup kecewa, karena proses yang ada berjalan lambat dan cenderung begitu-begitu saja. Tetapi, dengan hadirnya rekan-rekan RMI dan HuMa yang menginformasikan perkembangan terbaru, paras Jaro sedikit berubah dan memiliki harapan baru. Karena dengan adanya hutan adat Kasepuhan Pasir Eurih yang diakui oleh negara, secara tak langsung memberikan kenyamanan serta keamanan bagi masyarakat dalam melakukan pengelolaan wilayah mereka, lepas dari kekangan Taman Nasional Gunung Halimun Salak itulah yang menjadi keinginan kuat dari Jaro dan masyarakat. 

Rumah temoat tinggal di Kasepuhan Pasir Eurih

Selain itu, RMI dan HuMa bersama rekan INSIST juga berencana melakukan penyelenggaraan pendidikan untuk pengorganisasian masyarakat serta mengedukasi masyarakat untuk secara mandiri mengelola dan menghasilkan sesuatu dari hutan adat yang nantinya akan ditetapkan. Karena agak kelelahan, kami memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan pada esok hari. 

Esok harinya, setelah kami mencicipi kopi dan sarapan, kami melanjutkan dengan berkeliling wilayah Kasepuhan Pasir Eurih dan melihat situasi dan kondisi yang sangat terawat oleh mereka. Lokasi Kasepuhan Pasir Eurih sendiri banyak dihiasi oleh bukit bebatuan-bebatuan besar serta dihiasi oleh panorama pemandangan bukit hijau yang diselimuti oleh hutan adat yang hingga kini masih mereka jaga dan pertahankan. 

Mungkin inilah jejak budaya agraris dengan alam yang masih asri satu-satunya yang terdapat di Pulau Jawa. Hal tersebut juga diperkuat dengan adanya Saung Lesung. Saung (Pondok) yang digunakan sebagai lokasi dalam menyimpan Lesung. Lesung sendiri dimaknai oleh Masyarakat Kasepuhan sebagai alat pertanian, melainkan mereka juga menjadikan Lesung sebagai alat kesenian untuk menghibur diri ketika suntuk melanda pada saat menumbuk padi.

KOMPAK ya …

Setelah seharian berkeliling dan berkumpul dengan beberapa warga, kami menutup hari dengan berdiskusi dengan pemuda dari Kasepuhan Pasir Eurih yang menamakan diri mereka KOMPAK (Koempolan Pemuda Kasepuhan Pasir Eurih) dengan berbincang-bincang serta makan malan dengan Ngaliwet. Hal ini yang kemungkinan besar banyak tak bias kita jumpai di kota, karena umumnya masyarakat kota telah hidup masing-masing. Sejatinya, dengan memanfaatkan momen kecil seperti Ngaliwet adalah cara kita untuk menghimpun kerukunan dan persatuan dengan seluruh warga/masyarakat. Secuil kisah dari Kasepuhan, bagian Jawa yang memiliki kebudayaan tinggi yang harus dan terus dilestarikan. (*)

Penulis: Bimantara Adji  Twitter: @bimantaraadji 

Baca Tulisan Bima:

  1. Petualangan Ke Kampung Sungkup
  2. Perjalanan Almanak Desa: Kasepuhan Pasir Eurih

Be First to Comment

Silahkan berkomentar ..

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d