Press "Enter" to skip to content

Penuhi Hak Masyarakat Adat, Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat

Konferensi Pers Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, 10/2/2019

RUU Masyarakat Adat jelas merupakan bagian dari upaya mewujudkan hak-hak masyarakat hukum adat yang telah dijamin konstitusi. Penundaan yang terlalu lama mengakibatkan ketidakpastian dan kondisi tidak aman. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat melaksanakan Konferensi Pers terkait RUU Masyarakat Adat pada hari Minggu (10/2) di gedung YLBHI. 

Pada konferensi pers tersebut, Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan situasi perkembangan pembahasan RUU Masyarakat Adat. Arman, mewakili Koalisi menyampakan bahwa pada akhir November 2013, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat telah menjadi agenda Progam Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2014, Parlemen bahkan membentuk Pansus untuk membahas RUU tersebut. Pada masa itu, Presiden SBY menunjuk Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sebagai koordinator perwakilan Pemerintah di dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat bersama dengan Parlemen. Sayangnya, Kemenhut tidak menunjukkan komitmen serius yang menyebabkan gagalnya pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang pada masa Pemerintahan Presiden SBY

Tuntutan segera sahkan RUU Masyarakat Adat Foto: Wiki DPR

Setelah gagal ditetapkan pada masa Pemerintahan Presiden SBY, RUU Masyarakat Adat tetap dipandang penting oleh rezim yang baru. Menjelang pemilu 2014 Joko Widodo-Jusuf Kalla menyatakan komitmen politiknya kepada Masyarakat Adat. Komitmen tersebut tertuang di dalam Nawacita. Salah satu dari 6 (enam) komitmen politik Jokowi-JK kepada masyarakat adat yakni mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. 

Meskipun komitmen politik tertulis jelas di atas kertas, namun adanya jarak antara komitmen dengan realitas, mengingat RUU Masyarakat Adat tidak masuk dalam Prolegnas tahun 2015 dan 2016. Perjuangan di parlemen terus dilakukan yang bermuara pada disepakatinya RUU Masyarakat Adat sebagai RUU Inisiatif DPR dalam sidang Paripurna DPR pada Februari 2018. 

Pada bulan yang sama, Ketua DPR mengirimkan surat kepada Presiden. Presiden Joko Widodo merespon Surat Ketua DPR tersebut dengan menerbitkan Surat Presiden yang menugaskan enam kementerian untuk menyiapkan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) RUU Masyarakat Adat. Keenam menteri tersebut adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, serta Menteri Hukum dan HAM.

Dari kerangka waktu, DIM RUU Masyarakat Adat sudah harus diserahkan kepada DPR dalam kurun waktu 60 hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima Presiden Jokowi. Hal ini berarti enam kementerian/lembaga yang ditunjuk Presiden harus bekerja cepat. DIM dari Pemerintah eksekutif merupakan hal yang krusial karena DIM tersebut adalah pra-syarat untuk pembahasan dan proses pengesahan RUU Masyarakat Adat. Akan tetapi, Pemerintah malah melakukan penundaan demi penundaan tanpa kejelasan. Hingga saat ini, DIM yang ditunggu-tunggu DPR belum juga diserahkan oleh Pemerintah. Ini tentu sebuah ironi mengingat betapa jelasnya Nawacita menyebut pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai salah satu dari enam komitmen Pemerintah Jokowi-JK.

“Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat telah melakukan beragam audiensi ke pemerintah terkait DIM RUU Masyarakat Adat. Malah yang kami dapatkan ketidakjelasan. Kami seperti diping-pong dari Kementerian satu ke Kementerian lainnya. Pertanyaan kami sederhana saat ini dimana DIM berada dan bagaimana statusnya. DIM RUU Masyarakat Adat seharusnya dilihat sebagai persoalan genting oleh Kabinet Kerja. Karena sebagai pembantu Presiden harusnya membantu Jokowi-JK dalam memenuhi Nawacita terutama di tengah Agenda Politik 2019,” lugas Dahniar Andriani, selaku Direktur HuMa.

Masyarakat Adat di Indonesia masih berada di dalam pusaran dan menjadi korban konflik sumberdaya alam dan agraria. Perkumpulan HuMa (2019) menunjukkan bahwa pada tahun 2018 telah terjadi sekurangnya 326 konflik sumberdaya alam dan agraria di Indonesia. Ratusan konflik tersebut melibatkan areal lahan seluas 2,1 juta hektar dengan korban 186.631 jiwa. Sedikitnya 176.637 jiwa adalah korban dari pihak masyarakat adat. Selain itu, KIARA mencatatkan di tahun 2018 setidaknya 5 orang dikriminalisasi dan 1 orang meninggal dunia dari Masyarakat Adat di pesisir dan pulau-pulau kecil. 

“Maraknya konflik agraria dan bahari merupakan cerminan pembangunan ekonomi Indonesia yang digadang-gadang belum berpihak kepada Masyarakat Adat terutama kepada Masyarakat Adat di pesisir dan pulau-pulau kecil. Ruang hidup bagi sumber-sumber penghidupan Masyarakat Adat terutama yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil semakin lama semakin mengkerut. RUU Masyarakat Adat ini mestinya dilihat pemerintah sebagai salah satu keberpihakan dalam penyelesaian konflik yang dihadapi Masyarakat Adat”, ujar Bona Beding dari KIARA.

Penundaan pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat jelas berdampak pada semakin lamanya masyarakat adat mendapatkan kepastian hukum, baik statusnya sebagai subjek hukum maupun kepastian hukum atas beragam hak yang melekat pada masyarakat adat. Ketidakpastian hukum atas nasib Masyarakat Adat di atas perahu besar Republik Indonesia pun terbayang akan berlanjut pasca Pemilu 2019. Berdasarkan kajian Madani (2018), kedua pasangan calon Presiden-Wakil Presiden tidak mempunyai visi-misi yang kuat atas jaminan hukum bagi Masyarakat Adat. Visi-misi Paslon Prabowo-Sandi tidak sedikitpun menyinggung perihal masyarakat adat. Sementara visi-misi Paslon Jokowi-Ma’aruf menitikberatkan hanya pada pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat, tanpa menyebutkan produk hukumnya.

“Apabila Pemerintah melihat pemenuhan hak Masyarakat Adat cukup dijaminkan dalam beragam perundang-undangan yang tersebar, malah kami melihat sebaliknya. Pokok persoalan Masyarakat Adat yang tidak pernah beres di Negeri ini karena adanya tumpang tindih kebijakan. Setidaknya ada 14 peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Masyarakat Adat. Pertanyaannya ialah jika ada masalah yang dihadapi Masyarakat Adat, Kementerian mana yang bertanggungjawab?” tegas Siti Rakhma Mary, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI.

Peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Foto: AMAN

Konstitusi UUD 1945 telah memandatkan pemenuhan hak-hak masyarakat adat diatur dalam Undang-Undang. Mandat konstitusi inilah merupakan ekspresi kegentingan dalam sejarah bangsa Indonesia untuk memulihkan relasi Negara dan Masyarakat Adat, yang tercabik-cabik karena penindasan dan ketidakadilan. Lebih progresif lagi, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat melihat bahwa RUU Masyarakat Adat membawa semangat mewujudkan Masyarakat Adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan.

“Kami menyadari bahwa di dalam komunitas adat masih terdapat diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat. RUU Masyarakat Adat ini merupakan satu kebijakan hukum yang mampu mengikat Masyarakat Adat terlibat aktif dalam mengeliminasi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat. Kami juga menyadari bahwa di dalam Masyarakat Adat terdapat hak-hak kolektif perempuan yang tidak terlindungi oleh beragam kebijakan di Indonesia termasuk di dalam CEDAW. Karenanya kami meyakini bahwa RUU Masyarakat Adat merupakan satu-satunya kebijakan yang mampu melindungi hak-hak kolektif perempuan adat serta menjaminkan partisipasi perempuan adat di dalam pembangunan berbangsa dan bernegara,” sambung Muntaza, Direktur Program dan Komunikasi PEREMPUAN AMAN.

Pada Desember lalu, sebagai contoh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) salah satu organ penting dalam koalisi ini telah mengambil posisi netral di dalam pertarungan Capres-Cawapres 2019. Posisi ‘non-blok’ hadir sebagai sikap politik atas tidak terwujudnya komitmen Jokowi-JK di Nawacita serta ketidakjelasan visi-misi Paslon Prabowo-Sandi atas Masyarakat Adat.

“RUU Masyarakat Adat bukanlah alat dagang politik. Undang-Undang Masyarakat Adat dibutuhkan Bangsa Indonesia karena merupakan mandat konstitusi UUD 1945. Komitmen atas Undang-Undang ini tidak cukup hanya di atas kertas atau sekedar omongan politik. Pengurus Negeri ini perlu menunjukan tindakan keberpihakan yang nyata atas situasi Masyarakat Adat yang selama beberapa generasi menjadi korban ketidakadilan atas kebijakan sumberdaya alam di Indonesia,” lugas Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM PB AMAN.

Sudah hampir satu dekade RUU Masyarakat Adat terombang-ambing pengesahannya. Tak bisa dipungkiri muncul wacana yang menyatakan untuk menunggu waktu mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Wacana tersebut merupakan wujud penistaan atas cita-cita ibu-bapak pendiri bangsa. Menunda pengesahaan RUU Masyarakat Adat sama dengan menunda keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena mengesahkan RUU Masyarakat Adat merupakan satu langkah progresif dalam menyelamatkan bangsa Indonesia, serta satu tindakan progresif penyelamatan tanah air.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat adalah koalisi organisasi masyarakat sipil dan individu-individu pemerhati isu masyarakat adat, agraria, lingkungan, perempuan adat dan Hak Asasi Manusia. Koalisi ini terbentuk dalam rangka mengawal pembahasan RUU Masyarakat Adat di DPR RI. Pengawalan ini dilakukan agar RUU Masyarakat Adat mampu mengakui, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri atas: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), debtWatch Indonesia, Forum Masyarakat Adat Pesisir Indonesia, HuMa, Jurnal Perempuan, Kalyanamitra, Kemitraan, Kiara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Lakpesdam NU, Madani, merDesa Institute, Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Sawit Watch, SatuNama, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Be First to Comment

Silahkan berkomentar ..

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d