Press "Enter" to skip to content

OPINI HUKUM

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak (1)

Oleh: Agung Wibowo dan Nadya Demadevina

LATAR BELAKANG

Setahun setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menetapkan Permen LHK Nomor 21 Tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak (untuk selanjutnya disebut Permen 21), pada 14 Agustus 2020, Menteri LHK menetapkan Permen LHK Nomor 17/2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak (untuk selanjutnya disebut Permen a quo). Pasal 28 Permen a quomengatur bahwa dengan ditetapkannya Permen a quo, Permen 21/2019 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dalam rapat virtual tanggal 6 Oktober 2020 yang diselenggarakan oleh Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) KLHK dalam rangka Penjelasan atas Permen a quo yang dihadiri oleh HuMa (untuk selanjutnya disebut Rapat Sosialisasi PKTHA), Direktur PKTHA menjelaskan bahwa Permen a quo ditetapkan untuk menjawab masalah-masalah dalam penetapan hutan adat yang belum terjawab oleh kedua Permen sebelumnya. Kasubdit Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal PKTHA juga mendalilkan bahwa substansi Permen a quo disusun dengan mempertimbangkan usulan HuMa. Walaupun secara formil perlu digarisbawahi bahwa penyusunannya tidak melibatkan HuMa.

RUMUSAN MASALAH

Berkaitan dengan penetapan Permen a quo, apa saja norma baru dan perubahan norma dalam Permen a quo dibandingkan dengan Permen 21/2019, dan bagaimana konsekuensinya terhadap pengakuan hutan adat?

PENDAPAT HUKUM

1. Mengenai Hapusnya MHA dengan Keputusan Kepala Daerah

Aturan yang paling berbahaya dalam Permen a quo adalah mengenai hapusnya masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 6 ayat (2) Permen a quo diatur:

Pengukuhan keberadaan dan hapusnya MHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a. dalam kawasan hutan negara ditetapkan dengan peraturan daerah; atau

b. di luar kawasan hutan ditetapkan dengan peraturan daerah atau keputusan gubernur dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.”

Dalam Rapat Sosialisasi PKTHA, Direktur PKTHA mengatakan peraturan ini tidak baru, karena sudah diatur sebelumnya oleh Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan. Pasal 67(2) UU Kehutanan sendiri berbunyi: “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Masalahnya adalah, dalam Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan tidak diatur bahwa kepala daerah dapat menetapkan hapusnya masyarakat hukum adat dengan keputusan kepala daerah. Melihat realita resentralisasi kekuasaan saat ini, dimanifestasikan dengan Pengesahan UU Cipta Kerja, dan makin terang-terangannya rezim pro investasi, bisa jadi Kepala Daerah menetapkan hapusnya keberadaan masyarakat hukum adat untuk memudahkan pengadaan lahan bagi perusahaan.

Aturan dalam Permen a quo melanggar ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Konstitusi mengamanahkan pengaturan soal pengakuan MHA diatur dalam undang-undang. Sehingga, Permen  a quo sudah melampaui kewenangannya karena dalam undang-undang tidak pernah diatur mengenai kewenangan kepala daerah untuk menetapkan hapusnya masyarakat hukum adat dengan keputusan kepala daerah.

Selain itu, frasa “sepanjang masih hidup” konstitusi kita mengamanatkan bahwa negara kita memiliki konstitusi pluralis. Artinya, konstitusi menganggap hukum adat termasuk hukum yang perlu dijadikan sebagai sumber pedoman hidup bernegara hukum (rechstaat). Oleh sebab itu masyarakat hukum adat sebagaimana diamantkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No 35/PUU-X/2012 untuk menjadi subyek hukum (rechtssubjecten) yang sepenuhnya dapat turut serta dalam pergaulan hukum. Masyarakat hukum adat sendiri dapat dikatakan sebagai suatu persekutuan yang batasannya menurut Ter Haar teratur, bersifat tetap, dengan mempunyai kekuasaan sendiri (Sabardi, 2013). Sehingga eksistensi hukum adat dapat dijadikan sebagai sumber penyusunan materi perundang-undangan nasional dan frasa “sepanjang masih hidup” hanya dapat diukur dari sebuah kelompok masyarakat adat apakah mereka masih menjalankan pranata hukumnya tersebut atau tidak. Sehingga hapusnya masyarakat hukum adat menjadi sebuah hal yang tidak perlu lagi diatur dalam sebuah peraturan-perundang-undangan. Sebab hukum adat memiliki corak tersendiri dibandingkan sistem hukum lainnya. Tiga karakteristik unik hukum adat adalah: ia mengandung sifat yang sangat tradisional, dapat berubah, serta sanggup untuk menyesuaikan diri. Ciri khas ini menunjukkan bahwa walaupun hukum adat mempertahankan nilai-nilai tradisional yang dimilikinya, dalam waktu yang sama hukum adat pun dapat menerima perubahan yang memengaruhinya. Perkembangan hukum adat mengikuti perkembangan jaman tidak menjadikan masyarakat hukum adat “hapus”, apalagi dijadikan alasan pemerintah daerah untuk “menetapkan hapusnya masyarakat hukum adat”.

Siaran Pers Perkumpulan HuMA bersama Masyarakat Hukum Adat menjeleng penyerahan SK Penetapan Hutan Adat yang pertama kali. Sumber Foto: kompas.com 04/01/2017

Bahkan aturan dalam Pasal 67 UU Kehutanan saja (yang diatur lebih eksesif dalam Permen a quo) sudah melanggar hak asasi masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri. Hal ini selain diatur oleh UNDRIP juga diatur dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik juga Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU 11 dan 12 Tahun 2005. Negara tidak berhak meniadakan keberadaan masyarakat hukum adat sama sekali, hal ini merupakan otonomi masyarakat hukum adat itu sendiri.

2. Mengenai Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat Ditiadakan Diganti dengan Peta Penunjukan

Penjabaran Norma

Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat yang sebelumnya dimaktubkan dalam Permen 21/2019 kini dihapus dan diganti menjadi Peta Penunjukan. Peta penunjukan adalah proses awal suatu wilayah tertentu menjadi Hutan Adat dan peta areal yang telah ditetapkan menjadi areal Hutan Adat. Dalam Permen  a quo, penunjukan hutan adat  diatur dalam Pasal 10, 11 dan 15. Dalam Rapat Sosialisasi PKTHA, Kasubdit Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal PKTHA menjelaskan bahwa perubahan dari peta indikatif menjadi peta penunjukan dilakukan atas masukan dari masyarakat sipil yang mendalilkan bahwa peta indikatif tidak menjamin perlindungan hukum bagi wilayah adat, karena tidak memiliki konsekuensi hukum apapun. Sedangkan dalam aturan yang baru, peta penunjukan lebih memiliki konsekuensi hukum, karena setelah ditunjuk, tidak boleh diterbitkan izin baru terhadap area yang bersangkutan, sebagaimana Pasal 11 ayat (4) berbunyi: “Dalam hal Hutan Adat yang telah ditunjuk berada pada areal yang tidak dibebani izin pemanfaatan hutan, areal yang telah ditunjuk sebagai hutan adat tersebut tidak diterbitkan izin baru.

Pertanyaan lain yang muncul berkaitan dengan penunjukan hutan adat adalah, apakah ‘penunjukan hutan adat’ sama dengan ‘penunjukan kawasan hutan’ dalam pengukuhan kawasan hutan. Dalam kesempatan yang sama Direktur PKTHA menyampaikan bahwa memang aturan mengenai penunjukan hutan adat mengikuti ketentuan dalam UU Kehutanan yang mengatur bahwa penunjukan merupakan bagian dari pengukuhan kawasan hutan, yang tahap terakhirnya penetapan kawasan hutan.

Secara syarat dan tahapan, penunjukan hutan adat khusus untuk:

1. wilayah adat di kawasan hutan; dan

2. yang belum diakui oleh Peraturan Daerah, namun sudah ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.

Direktur PKTHA dalam Rapat Sosialisasi PKTHA menyampaikan alur yang dibayangkan oleh KLHK adalah sebagai berikut:

Informasi adanya wilayah masyarakat hukum adat >> dilakukan identifikasi dan verifikasi oleh panitia yang dibentuk Bupati >> berdasarkan hasil itu, Bupati menetapkan wilayah masyarakat hukum adat dengan Keputusan Bupati >> disampaikan kepada KLHK >> KLHK melakukan pengecekan apakah wilayah tersebut masuk atau di luar kawasan hutan >> kalau masuk kawasan hutan, dimasukan ke peta penunjukan; kalau di luar kawasan hutan langsung penetapan hutan adat >> peta penunjukan didorong untuk diakui dengan Perda sesuai Pasal 67 UU Kehutanan dalam kurun 2 tahun >> setelah ada Perda, mengajukan permohonan hutan adat ke KLHK >> KLHK melakukan validasi dan verifikasi lapangan >> penetapan hutan adat oleh KLHK.

Bagaimana Norma Ini Mempermudah/Menguntungkan Pemangku Hutan Adat

Sebagaimana yang disinggung sebelumnya, jalur penunjukan lebih berkonsekuensi hukum daripada peta indikatif. Dengan penunjukan, menjadi status quo wilayah masyarakat hukum adat. Dalam langkah restitusi, memang diperlukan status quountuk mengamankan terlebih dahulu wilayah masyarakat yang ingin dipulihkan haknya. Jadi wilayah hutan adat yang berkonflik tersebut tidak dibebani izin baru, hingga timbul sebuah permufakatan sebagaimana diungkapkan Pasal 11 (4) Permen a quo.

Bagaimana Norma Ini Mempersulit Pemangku Hutan Adat

Di satu sisi terdapat kemajuan dari segi perlindungan hukum dari peta indikatif menjadi peta penunjukan, namun di sisi lain tidak berarti pengaturan ini sudah sepenuhnya mengakomodasi masyarakat hukum adat yang berkonflik dengan pemegang konsesi. Permen a quo  lepas tangan dari penyelesaian konflik ketika Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) hanya memandatkan para pemegang hak pengelolaan hutan dan pemegang izin untuk melakukan koordinasi dengan pemangku adat. Tentu negara dalam hal ini Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup beserta jajarannya memiliki kewenangan dalam memfasilitasi penyelesaian konflik dengan tidak membiarkan para pihak berkoordinasi langsung dalam menyelesaikan masalahnya. Sebab masyarakat hukum adat adalah pihak rentan yang telah dilanggar haknya (vulnerable), sebagaimana diamanatkan oleh putusan MK 35/2012 bahwa Undang-Undang Kehutanan (UU No. 41/1999) (sebelum putusan mahkamah Konstitusi) selama ini telah menciptakan konflik ruang yang dihadapi masyarakat adat dalam hal merampas ruang hidup dan melanggar hak-hak dasar mereka. Hak-hak dasar tersebut telah diatur dalam berbagai peraturan, antara lain: (1) Pasal 18B UUD NRI 1945; (2) Pasal 6 dan 29 UU 39/1999 tentang HAM; (3) Pasal 1, 12, dan 27 Kovenan Hak Sipil dan Politik; dan (4) Pasal 11 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Lepas tangan lainnya adalah adanya ketidakharmonisan pasal. Di dalam Pasal 11 ayat (1), ada mandat mengenai jangka waktu (2) dua tahun bagi para pemohon Hutan Adat yang wilayahnya telah mendapat keputusan penunjukan hutan adat dapat memenuhi kelengkapan persyaratan. Setelah dua tahun, maka keputusan penunjukan Kawasan Hutan Adat tersebut tidak berlaku lagi. Hal ini tentu mengabaikan situasi konflik yang ada yang justru telah diatur pada Pasal 9. Secara prosedural, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), bila ada kekurangan persyaratan berupa produk hukum, maka pemohon tidak memiliki wewenang membuat produk hukum berupa Peraturan Daerah. Ini merupakan wewenang dari eksekutif dan legislatif di tingkat daerah, yang telah ditembuskan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). Seharusnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menugaskan para pihak tersebut mempercepat terbitnya produk hukum sebagai syarat penetapan hutan adat.

Selain itu juga, berdasarkan Rapat Sosialisasi PKTHA, Direktur PKTHA mengatakan bahwa status wilayah indikatif yang sebelumnya telah masuk ke dalam peta indikatif tidak serta merta masuk ke peta penunjukan. Untuk masuk ke peta penunjukan prosesnya harus mulai dari awal lagi. Sehingga semua wilayah indikatif akan disortir satu per satu mana yang akan masuk peta penunjukan.

(lanjut baca: Opini Hukum Pengaturan Hutan Adat (2))

Be First to Comment

Silahkan berkomentar ..

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d