Press "Enter" to skip to content

Meretas Mimpi Hutan Adat

Outlook Perkumpulan HuMA Indonesia

Ada beberapa catatan dari Outlook Perkumpulan HuMA Indonesia, Meretas Mimpi Hutan Adat. Lemahnya pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat adalah soal utama dan menjadi hambatan serius dari perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Hukum Adat tersebut. Penetapan hutan adat terhambat oleh soal utama tersebut, baik dari sisi tidak tersedianya kerangka kerja hukum dan kelembagaan hutan adat, bias sektoral, dan konflik yang menyertainya. 

Dapat digambarkan, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat melalui SK Bupati / Walikota ternyata tidak menghalangi ijin konsesi kehutanan dan/atau perkebunan; sementara jika ada Perda terkait keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adatnya ternyata harus berhadapan dengan fakta bahwa di wilayah adat itu sudah ada, dan bahkan bertumpuk ijin konsesi kehutanan dan/atau perkebunan. Masalah berikut, penetapan kawasan hutan juga kurang atau tidak memperhatikan keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan wilayah adatnya.  Sementara itu, penetapan hutan adat yang sudah ada sampai akhir tahun 2018 masih perihal administrasi, tidak ada kepastian hukum perlindungan penguasaan dan pemilikan hutan adat berdasar hukum agraria. Masalah hutan adat, lahir dan berujung pada konflik sumber daya alam dan agraria. Oleh karenanya, konflik sumber daya alam dan agraria yang tak terselesaikan itu menjadi mimpi buruk hutan adat.

Dari sisi politik ekonomi, data konflik dari Perkumpulan HuMA Indonesia haruslah diperhatikan Pemerintah. Bagaimana kita bisa klaim kemiskinan di desa-desa itu turun sementara warganya menghadapi konflik sumberdaya alam dan agraria secara luar biasa, asset mengecil dan tanpa dukungan sumber daya memadai di lapangan ? 

Perkumpulan HuMA Indonesia merekomendasikan harmonisasi dan integrasi dengan cara membangun kerangka kerja hukum dan kelembagaan hutan adat, menutup kesenjangan lebar antara hak-hak rakyat atas hutan dengan tata kelola kehutanan. Sektoral atas perlindungan Masyarakat Hukum Adat harus diakhiri dengan menegaskan perlu dan tindakan cepat diundangkannya RUU Pemngakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.  Keangkuhan Negara terhadap bekeradaan Masyarakat Hukum Adat haruslah berhenti dan mewujudkan hak-hak mereka berdasar prinsip dan tujuan negara hukum yang berkeadilan. Di bawah ini tulisan lengkap dari siaran pers Outlook Perkumpulan HuMA Indonesia: Meretas Mimpi Hutan Adat pada 16 Januari 2019. 

Tercatat hingga Desember 2018, Perkumpulan HuMa Indonesia mendokumentasikan 326 konflik sumberdaya alam dan agraria. Konflik berlangsung di 158 kabupaten/kota di 32 provinsi. Luas arealnya adalah 2.101.858,221 hektar, melibatkan 286.631 jiwa korban, yang terdiri dari 176.337 jiwa masyarakat adat dan 110.294 jiwa masyarakat lokal. Jika dibagi berdasarkan sektor, konflik perkebunan dan kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di Indonesia. Konflik di dua sektor ini mengalahkan konflik pertanahan, pertambangan, dan konflik lainnya. Konflik perkebunan dengan jumlah 156 konflik seluas 619.959,04 hektar, melibatkan 46.934 jiwa korban, yang terdiri dari 25.149 jiwa masyarakat adat dan 21.785 jiwa masyarakat lokal. Sementara konflik kehutanan dengan jumlah 86 konflik seluas 1.159.710,832 hektar, melibatkan 121.570 jiwa korban, yang terdiri dari 95.001 jiwa masyarakat adat dan 26.569 jiwa masyarakat lokal. “Kenyataan bahwa konflik sektor kehutanan merupakan sektor dengan areal terluas, dan melibatkan masyarakat adat sebagai korban terbanyak menjadi latar belakang Perkumpulan HuMa Indonesia untuk menyusun laporan ini. Ketika dari sisi kebijakan, Pemerintah berkomitmen untuk mengalokasikan sedikitnya 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk berbagai skema Perhutanan Sosial, termasuk Hutan Adat.” Ungkap Dahniar Adriani, Direktur Perkumpulan Huma Indonesia dalam peluncuran “Outlook: Meretas Mimpi Hutan Adat” di Ke-kini, Cikini (16/1). 

Secara substantif, pengaturan mengenai masyarakat hukum adat belum harmonis. Akibatnya pengakuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya terbelah, tidak holistik, dan tersendat akibat tarik menarik kewenangan sektoral. Pengakuan bersyarat –dalam bentuk produk hukum daerah- mempersulit masyarakat hukum adat untuk menikmati hak tradisionalnya. Dalam hal pemerintah daerah sudah membentuk produk hukum daerah, hambatan prosedural lain muncul. Pemeritah lamban dalam melakukan penetapan hutan adat. Belum dimasukannya potensi hutan adat dalam PIAPS dan/atau pencadangan hutan adat juga menyebabkan proses hutan adat tersendat. Skema ini seharusnya bisa menjadi diskresi dalam situasi produk hukum daerah pengakuan masyarakat hukum adat sebagai pemangku hutan adat belum optimal. Contohnya adalah Masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih. Mereka sudah melakukan proses administrasi dengan melengkapi berkas penetapan hutan adat sejak 2017. Tapi hingga saat ini penetapan tidak kunjung dating. “Mimpi besar masyarakah Pasir Eurih akan hutannya belum juga jadi kenyataan” Jajuli, Perwakilan masyarkat Kasepuhan Pasir Eurih

Ketika masyarakat hukum adat akhirnya berhasil mendapatkan penetapan hutan adat, belum tentu serta merta mereka dapat langsung menikmati hak tradisional mereka. Penyelesaian konflik dengan pihak lain menyebabkan hak tradisional masyarakat hukum adat belum terjamin. Kepastian hak atas hutan adat sejatinya harus dikuatkan dengan administrasi pertanahan, pencantuman dalam peta kawasan hutan, dan integrasi ke RTRW; yang kesemuanya sampai saat ini belum dilakukan. 

Sementara itu, terkait hutan adat di Aceh dan Papua menemui jalan buntu. Mukim Beungga di Aceh misalkan, pada 27 Oktober 2016, mengusulkan penetapan hutan adat namun hingga kini belum ada tindak lanjutnya. Masyarakat hukum adat Yawadatum, Marga Manasefadan, Marga Yesaya Sawat di Papua dan Papua Barat juga mengalami situasi yang sama. Jika dikonfirmasi terkait hutan adat di dua Provinsi itu, KLHK menjawab perlu menyusun Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) sebelum penetapan hutan adat.

Dahniar menambahkan, “Perkumpulan HuMa Indonesia merekomendasikan rekonstruksi kerangka hukum dalam hal penetapan hutan adat. Rekonstruksi itu bisa dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu: (1) harmonisasi; dan (2) integrasi. Pendekatan harmonisasi berfokus pada menyelaraskan ketentuan-ketentuan berkaitan dengan masyarakat hukum adat yang telah ada dan tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Sedangkan pendekatan integrasi menekankan pada menyatukan atau menarik semua persolan mengenai masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya ke dalam satu UU khusus soal masyarakat hukum adat.”

Pendekatan harmonisasi dianggap perlu untuk memberi konteks pada UU 41/1999 pasca Putusan 35/PUU-X/2012. Harmonisasi dilakukan dengan cara: (1) memastikan kewenangan daerah dalam menetapkan masyarakat hukum adat; (2) merumuskan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dalam bentuk peraturan bersama Menteri-Menteri untuk menjembatani kementerian dan lembaga yang masing-masing memiliki peraturan terkait masyarakat hukum adat; (3) menyelesaikan tata batas kawasan hutan; (4) memasukkan hutan adat dalam peta kawasan hutan; (5) pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hak menguasai negara; (6) pendaftaran hak atas tanah di hutan adat; serta (7) pencadangan hutan adat.

Sedangkan pendekatan integrasi merujuk Putusan MK 35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa UU khusus masyarakat hukum adat merupakan mandat konstitusi. Selain itu, sektoralisme dianggap tidak akan teratasi jika peraturan mengenai masyarakat hukum adat masih tersebar di berbagai peraturan sektoral. Peraturan sektoral yang tumpang tindih harus dinyatakan tidak berlaku dalam UU baru. Untuk itu diperlukan UU khusus mengenai masyarakat hukum adat. Tidak hanya untuk mengatasi sektoralisme, UU baru ini harus menata ulang hubungan masyarakat hukum adat dengan negara.  Selain itu, UU baru ini dapat mengatasi masalah “pengakuan bersyarat” yang selama ini diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. (Andik Hardiyanto)

Be First to Comment

Silahkan berkomentar ..

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d