Press "Enter" to skip to content

Matinya Agraria Di Kawasan Hutan

Memisahkan petani dari lahan pertanian, memenjarakan petani karena bertani, maka kalian akan hancur sendiri.” Seorang tokoh petani dari Desa Surokonto Wetan menyampaikan hal ini pada forum Paralegal. Apakah ini ancaman? Tidak. Bukan kebiasaan petani desa yang miskin itu mengancam. Ini semacam peringatan. 

Legitimasi moral dari kekuasaan adalah kemampuan menghormati dan melindungi hak-hak rakyat, termasuk dan terutama petani miskin, yang hidupnya sangat bergantung pada lahan garapan. Menghormati itu tindakan menjaga pengetahuan dan pengalaman petani mengelola kehidupan pertanian. Lahan pertanian adalah bagian penting dari keluarga petani. Tanpa lahan pertanian, apalah arti hidup sebagai petani. 

Baca juga: Reforma Agraria: Idealisasi Konsep Hak Menguasai dari Negara

Kerja kekuasaan atas lahan hutan akhir-akhir ini tampak begitu keras. Kehidupan petani bisa begitu saja disingkirkan seakan tidak jejak sejarah atas pengusaan tanah. Dan sebaliknya, ditegaskan tindakan yang nyaris menghilangkan masa depan petani. Petani Surokonto Wetan divonis tahanan 8 tahun penjara. Penetapan lahan yang biasa mereka garap sebagai kawasan hutan memberi batas masa depannya, berhenti sampai di sini.

Di Banyuwangi, nama petani Satumin juga menghadirkan berita miris. Satumin (43) didakwa dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Khususnya didakwa dengan sengaja melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan, sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (2) huruf b yaitu setiap orang dilarang melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam hutan. 

Satumin, Petani Songgon, Banyuwangi itu biasa bekerja sebagai penyadap getah pinus/petani dan anggota LMDH Green Forest, juga menanam pohon antara lain durian, alpukat, dan jengkol, yang didakwa ada di dalam Kawasan Hutan Lindung. Ada khabar, kelompok petani di sana di mana Satumin juga anggotanya, sedang mengajukan perijinan perhutnan sosial. Artinya, petani hutan itu mengajak berdialog, mengikuti prioritas pembangunan pemerintah, tetapi peran yang ingin dikuatkan petani dalam mengelola dan merawat hutan yang itu dihentikan oleh kasus ini. 

Matinya agraria di kawasan hutan adalah kecemasan tersendiri. Petani di dalam dan di sekitar kawasan hutan telah lama menjadi fokus kebijakan. Kemiskinan yang di alami mereka terus menerus dibahas, dicemaskan, menjadi wajah buruk pembangunan hutan, tetapi keberadaan petani hutan berikut hak-hak mereka dimarjinalkan, dan yang menjadi kecemasan umum adalah disebut ancaman. Situasi buruk ini masih saja terjadi disaat pemerintah mengedepankan kebijakan populis melalui reforma agraria dan perhutanan sosial. Kenapa ini terjadi?

Baca juga: Reforma Agraria: Sudahkah Lepas Landas ?

Sejak lama pengelolaan kawasan hutan terlepas dari urusan agraria. Pengelolaan kawasan hutan selayaknya negara di dalam negara, Satu negara yang tidak mau mengembangkan kemampuan untuk memahami kehidupan dan hak-hak asasi rakyat.Seperti kekuasaan negara pohon. Ketika program reforma agraria dan perhutanan sosial diluncurkan, ia seperti memberi komando ada perubahan dalam politik kehutanan, hutan untuk rakyat. Namun jalan ini akan sendirinya buntu apabila ketidakmampuan memahami kehidupan dan hak-hak rakyat tetap dipelihara. Tata kelola kehutanan haruslah didasarkan pada hak-hak asasi rakyat, petani di dalam dan di sekitar hutan itu sendiri. Tata kelola kehutanan itu mengandalkan perbaikan hukum dan administrasi, jawabnya: Ya betul Tata kelola kehutanan itu mengandalkan birokrasi hutan yang memiliki kompetensi dan memiliki empati pada fakta kehidupan hutan dan rakyat di dalamnya, jawabnya: Ya betul. Tata kelola kehutanan harus mengandalkan program yang sesuai dengan tuntutan masa depan ekologi, kesejahteraan Rakyat dan juga santun pada adat dan kearifan rakyat setempat, jawabnya Ya betul. Tetapi semua itu harus dirumuskan dengan jelas sebagai tindakan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat. Target reforma agraria dan perhutanan sosial itu harus berhubungan langsung dengan peningkatan kualitas kehidupan dan hak-hak rakyat, khususnya petani di dalam dan di sekitar hutan yang faktanya sangat beragam basis kehidupannya. Target itu bukanlah angka, tapi kualitas hak asasi rakyat. Angka target bisa dipermainkan, tetap hak rakyat sama sekali tidak. ketegasan hutan untuk rakyat adalah proses dan tujuan mulia sesuai konstitusi. Matinya agraria di kawasan hutan harus segera diakhiri. Memenjarakan petani miskin karena bertani bukanlah kebanggaan bagi siapa pun yang hiduo dan berkuasa di negeri agraris.

Baca juga: Reforma Agraria Sejati Tak Akan Pernah Mati

Foto Unggulan Atas: Sidang Satumin didampingi pembela Tim Garuda, YLBHI – LBH Surabaya. Foto: Walhi Jawa Timur

Penulis: Andik Hardiyanto

Be First to Comment

Silahkan berkomentar ..

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d