Press "Enter" to skip to content

Kawal RUU Masyarakat Hukum Adat

RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) dibahas lagi di DPR. Saya sampaikan itu pada Jaro Wahid. “Ada Sidang Paripurna, RUU MHA jadi inisiatif DPR RI.” Saya menambah penjelasan. Jaro Wahid hanya senyum kecil. Tak berlanjut dengan diskusi.

Isu pembahasan RUU MHA memang melelahkan. Jaro Wahid adalah tokoh Kasepuhan Karang. Atau dikenal juga sebagai Kepala Desa Jagaraksa, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Jaro Wahid sudah terlibat sejak lama, 4 tahun lalu. Dia merasakan pembahasan RUU MHA tak kunjung selesai. Pantas saja pesimis itu datang.

Ada situasi yang perlu dicermati dalam perjalanan pembahasan RUU MHA. Pertama, RUU MHA ini ditujukan untuk menyediakan undang-undang seperti yang diamanatkan Pasal 28B UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui dalam undang-undang.” Keberadaan UU MHA ini nantinya diharapkan mengakhiri pengaturan sektoral terkait pengakuan dan penghormatan MHA. Kedua, keberadaan MHA selama ini termarjinalisasi, terlibat dalam konflik dan menjadi korban dari kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang secara dominan merugikan penghidupan mereka. Di wilayah pengaturan hutan misalnya, kawasan hutan adat mereka hilang karena penetapan perluasan taman nasional, atau menjadi wilayah konsesi industri hutan. Sedangkan di wilayah pesisir dan laut, masih rentannya perlindungan wilayah tangkap ikan mereka —yang selama ini dikelola berdasarkan adat. Putusan MK 35/2012 telah merekomendasikan bahwa, setiap tindakan kebiijakan pengelolaan hutan haruslah memperhatikan keberadaan MHA. Ini sebagai konsekuensi dari keberadaan MHA yang merupakan subyek hukum, penyandang hak yang diakui dan dihormati berdasar hukum Konstitusi.

Maka, RUU MHA ini harus mengatasi masalah yang timbul dan merugikan hak-hak MHA ini sepenjang pengaturan hutan yang terjadi selama ini. Terutama dalam hal: (1) pemulihan hak; (2) prosedur pengakuan keberadaan MHA untuk lebih menghormati hak MHA; (3) penanganan konflik; (4) kelembagaan dalam pembinaan MHA. Maksud pembinaan di sini adalah dalam bahasa teknokrasi untuk pemenuhan prinsip “…. sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Pembinaan itu dalam bentuk program biasa dilakukan dengan nomenklatur pemberdayaan masyarakat. Di sisi lain, RUU MHA ini harus mampu menata keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya dalam bentuk-bentuk kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik dan adil, seperti yang saat ini dijalankan dalam program perhutanan sosial, zonasi wilayah pesisir dan laut, dan konservasi. Evaluasi terhadap program itu haruslah dilakukan dan menjadi dasar perumusan substansi pasal pemajuan dan peningkatan kesejahteraan MHA.

Ketiga, kekhususan yang ada dan dirawat sebagai tradisi oleh MHA, seperti pengetahuan asli, hak perempuan dan anak, kearifan lokal, dan bentuk-bentuk lainnya merupakan hal yang penting untuk dilindungi. Sehingga pengaturan MHA dalam UU MHA ini nantinya benar-benar bisa menjadi sejarah masa depan bagi kehidupan sejahtera MHA.

Hutan Adat Kasepuhan Karang Foto: RMI Bogor

Dalam perkembangannya, ada pesan kebijakan yang terangkat ke permukaan dalam proses mengawali kembali pembahasan RUU MHA. Bukankah sudah ada Undang-Undang Desa? Cukuplah Undang-Undang Desa yang mengatur perlindungan MHA. Pesan kebijakan ini salah. Pertama, Undang-Undang Desa bukanlah undang-undang seperti yang dimaksud Pasal 28B UUD 1945. Kedua, pengaturan Adat dalam UU Desa ditujukan untuk pembentukan Desa Adat melalui prosedur Penataan Desa. Desa Adat merupakan bentuk advance dari keberadaan MHA yang memang memiliki prakarsa, sesuai persyaratan hukum sesuai UU Desa untuk pembentukan Desa Adat. Namun demikian, Undang-Undang Desa berdayaguna untuk melindungi Desa-Desa Adat yang sudah ada dan Desa yang di dalam wilayah administratifnya terdapat masyarakat adat sesuai dengan tujuan pengaturan Desa.

Melalui pengaturan UU MHA ini nantinya, penantian panjang dari MHA, seperti halnya kepentingan Jaro Wahid dapat dipenuhi. “Bagaimana khabar pelaksanaan SK Penetapan Hutan Adat Kasepuhan Karang?” Saya mencoba menarik minat Jaro Wahid kembali. “Jalan baik, banyak teman yang sudah ke Hutan Adat Kasepuhan Karang.” Dukungan kelembagaan tentu masih diperlukan dalam menguatkan kemampuan Hutan Adat mensejahterakan masyarakatnya. Tugas kita adalah menyampaikan jalan hukum yang lebih baik, agar rejim perijinan perhutanan sosial di wilayah adat ini lebih memahami dan mampu melaksanakan konstitusionalitas hutan adat. Ingat, MHA adalah subyek hukum, seperti halnya negara yang direpresentasikan oleh Kementerian LHK itu. (*)

Penulis: Andik Hardiyanto   Email: [email protected]

Be First to Comment

Silahkan berkomentar ..

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d