Kampung Adat Kabupaten Jayapura, sumber foto Ditjen Bina Pemdes Kemendagri (2022)

Kampung Adat

Desa Adat atau Kampung Adat merupakan bentuk advance dari masyarakat hukum adat. Desa Adat yang dimaksud adalah Desa Adat yang dibentuk berdasar dengan Undang-Undang Desa (UU No. 6 Tahun 2014 jo. UU No. 3 Tahun 2024).  Kampung-kampung adat di wilayah Kabupaten Jayapura merupakan generasi pertama dari skema pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya. 

14 (empat belas) Kampung Adat di Kabupaten Jayapura memperoleh kodefikasi dan pencatatan Desa Adat untuk pertama kalinya di Indonesia, pada Agustus 2022. Sumber:Foto: indonesia.go.id

Kampung Adat dalam kerangka hukum Undang-Undang Desa tentu memiliki tanggung jawab teknokrasi seperti halnya Pemerintah Desa pada umumnya. Dengan kewenangan-kewenangan yang diakui secara hukum dan melekat pada Kampung Adat, secara pemerintahan desa maka pengurus Kampung Adat haruslah mampu mengelola Dana Desa atau Dana Kampung Adat sesuai sistem perencanaan pembangunan nasional dan dilaksanakan untuk memenuhi hak-hak warga kampung Adat, pembangunan wilayah kampung. Pengurus Kampung Adat lahir dari tokoh, ketua atau pimpinan pemerintahan adat. Kemampuan pengurus adat mengelola tradisi dan ekologi menjadi harapan besar bagi Kampung Adat akan mensejahterakan warganya dengan melindungi sumber daya kultural serta sumber daya alamnya.

Membedakan Kampung Adat di Kabupaten Jayapura dengan Nagari di Sumatera Barat atau Gampong di Aceh adalah dari registrasi desa atau kodefikasi desa di Kementerian Dalam Negeri. Kampung Adat adalah kodefikasi dan pencatatan Desa Adat pertama kali di Kementerian Dalam Negeri yang pastilah memiliki kejelasan secara hukum tentang batas-batas administrasi wilayah adatnya sebagai batas wilayah Kampung Adat. Berbeda juga dengan Desa Adat di Bali. Bali mempertahan tradisi pengelolaan desanya dengan mempertahankan Desa Adat di luar skema pengaturan Undang-Undang Desa. Di provinsi Bali terdapat Desa Dinas dan Desa Adat. Desa Dinas mengelola administrasi pemerintahan dan pembangunan Desa, mengelola dan menggunakan Dana Desa, bekerja sama dengan Desa Adat mengelola warga dan wilayah desa secara keseluruhan.  

Namun demikian, ada beberapa masalah terkait dengan urusan administrasi pemerintahan (pusat dan daerah) dan kerangka pelaksanaan hukum Undang-Undang Desa dalam meningkatkan kualitas masyarakat hukum adat dalam bentuk Desa atau Kampung Adat, atau yang disebut nama lainnya itu. Di tingkat Pemerintah Pusat tidak ada nomenklatur masyarakat hukum adat dan berikut pemegang kewenangan pengambil keutusan pada eselon 1 kementerian. Di Kementerian Dalam Negeri (Direktorat Bina Pemerintahan Desa) hanya terdapat urusan kewenangan Penataan Desa yang terkait tidak langsung dengan hak-hak masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya. Di Kementerian Desa (kini Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal) dibebankan pada Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa sama-sama masuk ke wilayah sistem perencanaan pembangunan desa yang mengakibatkan ada dualitas pengaturan pada obyek yang sama, dan seringkali membingungkan pemerintahan desa. Sedangkan di Kementerian lainnya, masyarakat hukum adat, sesuai istilah pengaturan di dalam Konstitusi UUD 1945 dan amandemennya, justru mengembangkan jenis kewenangan lainnya dalam term pembangunan sosial, seperti adat terpencil, masyarakat adat terasing dan lain sebagainya. Secara keseluruhan tidak penegasan nomenklatur masyarakat hukum adat, dan hal ini menyulitkan bidang-bidang pemerintahan pusat melaksanaan kualitas masyarakat hukum adat sesuai hak-hak dan wilayah adatnya. 

Menurut saya, tidak adanya penegasan nomenklatur masyarakat hukum adat dan berikut pejabat setingkat eselon 1 yang menanganinya di birokrasi pemerintahan pusat itu adalah masalah utama atau penyebab terhambatnya berpuluh tahun diundangkannya undang-undang yang secara khusus mengakui keberadaaan dan melindungi masyarakat hukum adat. 

Lalu bagaimana Kampung Adat di Kabupaten Jayapura bisa terwujud? Momentum politik jelas memungkinkan hal itu terjadi. Terdapat inisiatif lokal yang kuat. maksimalnya dukungan organisasi masyarakat sipil di daerah otonom itu, serta adanya OAP sebagai pejabat tinggi di Kementerian Dalam Negeri saat itu tegas memberi dasar penjelas dari keberhasilan tersebut. Melindungi hak-hak masyarakat hukum adat adalah janji membangun bangsa dan negara RI yang lebih baik dan adil yang harus dipenuhi. Cara-cara yang terbukti tidak strategis haruslah ditinggalkan, dan sebaliknya cara-cara yang benar harus dijalankan (Andik Hardiyanto). 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *