Press "Enter" to skip to content

Hak-Hak Masyarakat Adat

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat menilai setidaknya ada enam hak Hakmasyarakat adat yang terus-menerus terlanggar di mana hak-hak tersebut satu sama lain tidaklah dapat terpisahkan (indivisibility) dan melekat (inheren), serta harus diakui untuk pencapaian kemanusiaan bagi masyarakat adat. Hak-hak tersebut adalah:

  1. Hak Atas Wilayah Adat

Wilayah adat adalah ruang kehidupan masyarakat adat yang menjadi tempat keberadaan suatu entitas masyarakat adat yang penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatannya diatur menurut hukum adat. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sampai sekarang telah mengidentifikasikan 9,3 juta hektar luas wilayah adat  di Indonesia. Di dalam wilayah adat tersebut bisa terdapat tanah, hutan dan perairan yang pengaturan dan pemanfaatannya diatur berdasarkan hukum adat. Pengaturan yang ada masih bersifat sektoral, seperti UUPA menyebut hak ulayat, namun tidak menyebutkan pengakuan wilayah yang menjadi pengikat ruangnya. Ini juga yang ditemukan dalam UU Kehutanan, di mana menyebutkan hutan adat semata.

  1. Hak Atas Budaya Spiritual

Dimensi budaya-spiritual ini dikenali dalam pengertian hukum dengan “Identitas Budaya Masyarakat Adat”, sedangkan dalam pengertian sosial-antropologi adalah kearifan lokal. Secara lebih khusus lagi, keterhubungan masyarakat adat dengan wilayah adat dan dimensi spiritualnya disebut juga dengan Kepercayaan Lokal (Penghayat Kepercayaan). Agama Leluhur yang masih

Facebook / AMAN Kaltim

dipraktekkan sampai sekarang antara lain  Parmalim (Sumatera Utara), Kaharingan (Kalimantan),  Sunda Wiwitan (Jawa Barat), dan Marapu (Sumba). Itu dapat ditemui dalam Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 yang mengakui keberadaan Identitas Masyarakat Adat tersebut, yang kemudian dijabarkan lagi dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan bahwa  Identitas masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Hak ini dipertegas juga dalam  Putusan Mahkamah Konstitusi No.97/PUU-XIV/2016 (Putusan MK 97/2016) yang menguji UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 

  1. Hak Perempuan Adat

Hak perempuan adat memiliki karakter yang khusus dan berbeda dengan perempuan pada umumnya. Hak perempuan adat bersifat indivisibility yang artinya dalam satu identitas perempuan adat terdapat keterhubungan hak yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Perempuan Adat sebagai satu identitas mempunyai hak sebagai warganegara, hak individu perempuan adat, hak kolektif perempuan adat dan hak kolektif sebagai bagian dari masyarakat adat termasuk hak kolektif dalam aspek ekspresi budaya dan traditional occupation. Hak Kolektif yang dimiliki perempuan adat adalah identitas atas keberadaan masyarakat adat itu sendiri. Hak kolektif perempuan adat dapat kita lihat dari kehidupan sehari-hari perempuan adat yang erat dengan pengetahuan, wilayah kelola dan otoritas. Hak kolektif ini adalah pondasi bagi perempuan adat untuk secara berkelanjutan memastikan perannya bagi masyarakat adat dan Negara dalam wujud:  (1) Penjaga pengetahuan atas kedaulatan pangan dan energi keluarga dan komunitas; (2) Pemegang otoritas atas keberlangsungan kehidupan dan sumber-sumber penghidupan keluarga dan komunitas adatnya; (3) Pengakuan Wilayah kelola perempuan adat yang berkaitan erat dengan sumber-sumber penghidupan yang memastikan keberlangsungan hidup masyarakat adat. Hak inilah yang memunculkan karakter khusus dalam praktek sehari-hari. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, perempuan melakukan jenis kerja yang sangat spesifik yaitu memetik, memungut atau mengutip hasil sumberdaya alam (hutan, kebun, ladang, dll). Pengetahuan lokal, seperti kesehatan, tenun, benih dan pangan. Karakteristik tersebut menuntut adanya perhatian dan pemenuhan kebutuhan yang khusus atas hak perempuan adat.

  1. Hak Anak dan Pemuda Adat

Anak dan pemuda mendapatkan perhatian tersendiri karena kebutuhan mereka yang spesifik daripada orang dewasa, selain karena adanya hubungan kekuasaan yang memposisikan anak dan pemuda berada dalam situasi subordinat, juga peran kunci mereka sebagai generasi penerus sebuah komunitas. Sistem dan Kurikulum Pendidikan juga belum memberikan ruang bagi anak, sebagai generasi penerus kebudayaanya, karena tidak bersifat kontekstual.  Situasi ini diperkeruh dengan hilangnya wilayah kehidupan mereka. 

UN Habitat mencatat empat hal utama terkait dengan akses pemuda ke lahan (youth access to land) yang menjadi kebutuhan spesifik pemuda dalam kaitannya dengan hak azasi mereka sebagai manusia. Ke-empat hal tersebut adalah (1) hak-hak ekonomi yang mencakup tanah bagi kehidupannya, tempat kerja, asset ekonomi, akses terhadap pelatihan ketrampilan dan pelayanan ketrampilan, (2) hak-hak social yang mencakup kehidupan keluarga dan tempat bernaung, pendidikan, rekreasi, area terbuka, dan kesehatan; (3) hak-hak budaya yang mencakup ruang public dan tanah untuk acara-acara publik, praktik religious, hiburan dan event budaya/seni; serta (4) hak-hak sipil dan politik yang mencakup ketersediaan tanah untuk aktivitas/proyek-proyek pemuda, informasi, media dan ekspresi. 

  1. Hak atas Lingkungan Hidup

Bagi masyarakat adat, lingkungan hidup (milleu) bukan hanya menjadi rumah bagi berbagai spesies keanekaragaman hayati, khususnya yang endemik. Berbagai bahan obat-obatan tersedia, menjadikan apotik hidup. Lingkungan adalah sumber kehidupan dan pengetahuan bagi masyarakat adat sehingga menghasilkan pengetahuan dan kearifan lokal yang melekat dan

Facebook / Rukka Sombolinggi

menjadi kebudayaan dan spiritualitas tersendiri. Pengetahuan dan ketrampilan ini seharusnya mendapat perlindungan dari undang-undang. UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) misalnya mengakui bahwa masyarakat adat punya pengetahuan dalam mengelola lahan, sehingga ada pasal afirmatif yang memberikan pengecualian

dalam membakar hutan dan lahan yang diatur dalam penjelasan, yakni kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya (Pasal 69). Sayangnya, di lapangan ketentuan penjelasan ini tidak berlaku. Pada sisi lain, Pemerintah menganggap hutan dan pepohonan adalah komoditas dan menjadi tulang punggung ekonomi melalui berbagai kebijakan, dan mendelegasikan pengelolaan hutan skala besar kepada pelaku non negara (non state actor). Keanekaragaman hayati diubah menjadi tanaman monokultur, yang berdampak pada penghancuran kebudayaan dan spiritualitas masyarakat adat.

  1. Hak untuk Berpartisipasi (FPIC)

Hal yang paling esensi dari partisipasi masyarakat adalah adanya consent (persetujuan yang didasarkan kepada kesadaran) dari para pihak yang terlibat dalam proses partisipasi. Dengan adanya consent, maka masyarakat dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya, dan memahami konsekwensi dari pilihan yang diambil. Untuk itu, perlu ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai consent. Pertama, adanya informasi yang memadai yang diberikan sebelum adanya perubahan, biasanya pada tahap perencanaan. Kedua, Waktu yang cukup untuk mengelola dan memahami informasi yang ada, dan Ketiga, proses partisipasi yang setara, dan mengakomodir kebutuhan khusus kelompok rentan.

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat:

PEREMPUAN AMANJURNAL PEREMPUANKALYANAMITRA-DEBTWATCH INDONESIA-KEMITRAANLAKPESDAMKOMNAS PEREMPUANAMANSAMDHANA INSTITUTYLBHIEKNAS WALHIRIMBAWAN MUDA INDONESIASAWIT WATCHMERDESA INSTITUTEKPA-PPMAN-LULUK ULIYAH-SATUNAMA-KOALISI PEREMPUAN INDONESIAHUMA

(Tulisan ini diambil dari materi Media Briefing Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat, 27 Agustus 2018)

Be First to Comment

Silahkan berkomentar ..

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d