Press "Enter" to skip to content

Adat Tegak Di Desa Tenganan, Pegringsingan, Karangasem (2)

Sejak lama, Desa Adat Tenganan ikut berperan dalam mendukung desa dinas (desa pemerintahan) dalam menjalankan berbagai program pembangunan, apakah dukungan dalam bentuk bantuan natura (kayu, batu, dan bahan bangunan lainnya) ataupun dalam wujud dana. Yang terakhir ini misalnya bisa digambarkan dari contoh bagaimana pendapatan asli desa adat dari sektor pariwisata sebagian diberikan ke pemerintah desa dinas. 

Baca: Adat Tegak Di Desa Tenganan, Pegringsingan, Karangasem (1)

Yang kokoh berdiri bersama adat

Menurut catatan lapangan, pendapatan pariwisata yang dihasilkan Desa Adat Tenganan tidak seluruhnya diambil oleh desa adat, tetapi dibagi-bagi dengan persentase: 50 persen untuk desa adat; 25 persen untuk banjar dinas dan 25 persen untuk desa dinas.  Ini sama saja bahwa desa dinas (desa dan banjar dinas) memperoleh 50% dari seluruh hasil pariwisata yang dihasilkan oleh Desa Adat Tenganan. 

Tidak hanya itu, dewasa ini sudah menjadi hal biasa kalau desa adat dilibatkan oleh pemerintahan desa (dinas) dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan desa melalui Musrengbangdes. Pada masa lalu, praktik pelibatan desa adat secara langsung seperti ini jarang dilakukan; atau kalau hal itu dilakukan lebih banyak untuk formalitas agar terlihat (seolah-olah) ada proses partisipasi. Sejak era reformasi, desa adat tidak saja semakin dihargai kedudukannya, tetapi juga sejak beberapa tahun lalu mendapatkan dukungan anggaran APBD Provinsi dan Kabupaten. 

Hutan Adat Desa Tenganan

Kalau dicermati, dukungan dana dari pemerintah daerah ini tentu saja tidak terlepas dari harapan agar desa adat mampu melaksanakan tugasnya  sebagaimana tersebut dalam Perda No. 3 Tahun 2001, yaitu bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. Selain itu juga membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan paras-paros, sagilik saguluk, salunglung sabayantaka. Ini maknanya kurang lebih: paras paros artinya saling memberi dan menerima; sagilik saguluk artinya kukuh dan kompak; dan salunglung sabayantaka artinya selalu dalam kebersamaan. Itu di luar tugas-tugas khususnya, yang antara lain adalah: (1) membuat awig-awig; (2) mengatur krama desa; (3) mengatur pengelolaan harta kekayaan desa; (4) dan mengayomi krama desa. 

Belajar dari dinamika kehidupan desa adat di Tenganan serta apa yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah di sana, maka harus diakui bahwa Bali ternyata sudah menjalankan prinsip-prinsip terkait pengelolaan desa adat seperti  yang terbaca dalam UU Desa, justru jauh sebelum UU Desa itu lahir.  Sehingga sekarang dalam soal desa adat, termasuk dalam kaitannya dengan pemberdayaan desa adat, Bali sudah jauh lebih maju dibandingkan daerah-daerah lainnya di Indonesia.  Kunci keberhasilan Bali, khususnya Desa Adat Tenganan, dalam mengembangkan kehidupan masyarakat dan desa adatnya bisa menjadi bahan pelajaran sekaligus refleksi yang sangat berharga bagi proses penguatan dan pemberdayaan desa adat di Indonesia ke depan.

Selamat datang Desa Tenganan

Ada dua faktor penting di balik kemampuan Desa Pakraman Tenganan untuk bertahan dan mengembangkan keberadaannya sebagai desa adat. Pertama, adanya dukungan pemerintah daerah terhadap  masa depan kelangsungan desa adat, yang hal itu bisa digambarkan dengan paling nyata lewat Perda Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman adalah memberikan payung hukum atas eksistensi desa adat di Bali. Lewat Perda itu sebutannya desa adat diganti menjadi desa pakraman. 

Kedua, desa adat di Bali, terutama Desa Pakraman Tenganan, pada umumnya masih memiliki atau menguasai modalitas yang dibutuhkan bagi kesatuan masyarakat hukum (adat) untuk membangun otonomi aslinya. Modalitas yang dimiliki oleh Desa Pakraman Tenganan lengkap dan utuh. Pengertian modalitas mengacu pada hak dasar yang perlu dimiliki oleh desa adat agar otonomi (asli) bisa dilaksanakan dalam praktik.  

Apakah bentuk-bentuk dari modalitas itu? Mengacu pada pandanggan Sutardjo Kartohadikusomo (Balai Pustaka:1984) ada beberapa hak dasar yang harus melekat pada desa agar otonomi asli (otonomi berdasarkan hak asal usul dan/atau tradisional) bisa dilenggarakan; yaitu: (1) Adanya hak  atas wilayah sendiri dengan batas-batas (wilayah adat) yang sah; (2) Adanya hak untuk memilih dan mengangkat kepala atau majelis pemerintahannya  (desa adat)  sendiri; (3) Adanya hak mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah tangganya (desa adat)  sendiri; (4) Adanya hak mempunyai dan mengurus/mengelola asset-asset (desa adat) dan keuangannya sendiri; (5) Adanya hak atas tanahnya (desa adat) sendiri; (6) Adanya hak untuk memunggut iuran/pajak (lokal) sendiri.

Desa Tenganan merayakan Kemerdekaan RI

Untuk Desa Tenganan, keenam modalitas itu boleh dikatakan hampir semuanya ada dan masih utuh, sehingga mereka mampu menjalankan otonomi asli pemerintahan adatnya.  Sebagai contoh, tanah kolektif dan hutan adat mereka masih utuh dikuasai oleh desa adat, yang pengelolaannya diserahkan kepada para krama (warga) desanya berdasarkan ketentuan adat (awig-awig). Begitupula keuangan desa adat, termasuk berbagai pendapatan desa yang salah satunya dihasilkan dari pariwisata desa adat, dikelola secara otonom oleh desa adat.  Bahkan terkait dengan yang terakhir ini, desa adat mampu memberikan dukungan sumbangan keuangan kepada desa dinas/pemerintahan desa setempat.(AH)

(Disari dari Tim Kekal – Studi Desa Adat dan UU Desa ed. D. Gunawan)

 

Be First to Comment

Silahkan berkomentar ..

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d