Press "Enter" to skip to content

Adat Tegak Di Desa Tenganan, Pegringsingan, Karangasem (1)

Desa Tenganan atau dikenal dengan Tenganan Pegringsingan, merupakan salah satu dari sejumlah desa kuno di Pulau Bali. Pola kehidupan masyarakatnya mencerminkan kebudayaan dan adat istiadat desa Bali Aga, yaitu desa kuno yang terbentuk sejak masa pra-Hindu di Bali.  Desa Bali Aga ini berbeda dengan umumnya desa-desa lainnya di Bali, yang dikenal dengan sebutan desa Bali Apanage, yaitu desa baru yang bermula sejak masuknya pengaruh Hindu dari Kerajaan Majapahit di Jawa (kira-kira sejak abad 13/14)

Perempuan Desa Tenganan Foto: Daddy Gunawan

Desa Adat Tenganan Pegringsingan berada di dataran dari suatu lembah yang dikelilingi oleh perbukitan di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali. Desa kuno ini memiliki batas-batas wilayah adat yaitu sebelah utara Desa Adat Macang dan Bebandem; sebelah timur Desa Adat Bungaya dan Asak, sebelah selatan Desa Adat Pesedahan dan Nyuhtebel, dan di sebelah barat Desa Adat Ngis. 

Letak desa yang menjorok masuk ke dalam dari jalan raya memberi kesan desa yang terpencil; meskipun untuk sampai ke sana dapat dicapai dengan berbagai jenis kendaraan bermotor hingga pinggiran desa. Luas tanah Desa Adat Tenganan (selanjutnya disebut Tenganan) adalah 1.03 Ha; dengan rincian  tanah tegalan 499,74 Ha, tanah pertanian 243,31 Ha, tanah pelaba pura (tanah milik Pura) 95,83Ha, tanah perkampungan 80,00 Ha ; tanah kuburan 40,00 Ha, tanah kolam 0,03 Ha, dan lain-lain 75,09 Ha. 

Asset-aset dalam bentuk tanah, misalnya, hingga saat ini masih dikuasai utuh dan menjadi asset kolektif desa adat,  yang pengelolaannya diserahkan kepada krama desa (warga desa adat). Termasuk dalam hal ini adalah areal hutan yang ada di lingkungan Desa Adat Tenganan, yang sampai saat ini masih utuh sebagai hutan adat. Sejauh ini, hutan tersebut mampu dipelihara,  dilestarikan serta dimanfaatkan secara  berkelanjutan (sustainable) untuk kepentingan kolektif krama desa. Sebagai contoh, para krama desa sering memanfaatkan kayu-kayu hutan untuk berbagai keperluan, seperti membangun rumah dan bangunan lainnya, yang hal itu dilakukan dengan mengikuti ketentuan adat. Dan yang menarik, semua tanah beserta bangunan rumah yang ditempati para krama desa statusnya adalah milik Desa Adat Tenganan. 

Fenomena seperti ini tampaknya memang merupakan keunikan Tenganan karena di desa-desa lainnya, meskipun masih menguasai asset kolektif, tetapi wujudnya tidak seutuh dan seluas seperti di desa penghasil kerajinan kain tenun ‘gringsing’ yang sangat terkenal itu. Dalam konteks ini maka menjadi jelas bahwa kemampuan untuk mempertahankan keberadaan masyarakat beserta nilai-nilai adatnya menjadi faktor penentu sehingga mereka mampu melawan proses peluruhan asset-asset kolektifnya.  Sebaliknya, kemampuan menjaga keutuhan aset-aset kolektifnya, pada gilirannya memperkuat kedudukan adat dari berbagai ancaman yang datangnya dari luar, termasuk dari negara.

Baliaga – Desa Tenganan. Foto: Suandi

Sistem sosial masyarakat adat Tenganan, sangat berbeda dengan desa-desa adat pada umumnya yang ada di Bali. Perbedaan itu menyangkut, antara lain, sistem pemerintahan desa adatnya, sistem kepemilikan dan panguasaan tanah, sistem hirarkhi sosial masyarakat (sistem wangsa/kasta/warna), dan juga terdapat variasi dalam sistem religinya (Hindu).

Pola kepemimpinan desa Bali Aga seperti di Tenganan bersifat kolektif, atau kepemimpinannya  tidak mutlak berada di tangan seorang pemimpin melainkan dijalankan bersama oleh beberapa orang pemimpin. Berbeda dengan desa adat di Bali pada umumnya (Bali Apanaga), sistem kepemimpinan di Tenganan (Bali Aga) mengacu pada senioritas, yang dalam hal ini biasanya dilihat dari tolok ukur seperti umur (usia), lama usia perkawinan, dan/atau asal keturunan. Berdasarkan hal itu, struktur kepemimpinannya terbentuk atas enam tingkatan, yang masing-masing tingkatan tersebut membentuk semacam kepemimpinan kolektif, yaitu: (1) luanan, yang terdiri dari enam orang; (2) bahan duluan, terdiri dari enam orang; (3) bahan tebenan, terdiri dari enam orang; (4) tambelapu duluan, terdiri dari enam orang; (5) tembelapu tebenan, terdiri dari enam orang; dan akhirnya (6) pengeluduan, yang terdiri dari para penduduk desa yang sudah kawin (krama desa). (AH)

(Disari dari studi desa adat dan UU Desa – Tim Kekal – ed. D. Gunawan)

Lanjut Baca: Adat Tegak Di Desa Tenganan, Pegringsingan, Karangasem (2)

Be First to Comment

Silahkan berkomentar ..

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d